Aku Tercabut dari Tradisi Leluhur Bapak.

Terlahir sebagai Oey Hong Tay, namun akhirnya lebih dikenal sebagai Wibawadjati. Demi menuruti aturan di negeri ini, nama Oey Hong Tay pun ditanggalkan. Nama keluarganya, Oey, tidak ada lagi, berganti dengan Wibawa. Tidak tahu apa perasaan Bapak ketika menanggalkan nama Oey. Mungkin biasa saja, toh banyak juga kerabatnya yang mengalami hal yang sama, tapi bisa jadi sangat berat ketika harus “memutus” budaya leluhurnya. Leluhur yang sangat dihormati dalam tradisi Chinese. Kakakku pun terlahir sebagai EA Wibawa, dan aku AM Wibawa. Bukan Oey Ba Hwa atau Oey Bun Ong atau Oey Kun Liong atau Oey-Oey yang lain. Aku dan kakakku tidak mempunyai Chinese Name sama sekali.

Aku tidak tahu sama sekali budaya Chinese. Bapak tidak pernah memperkenalkan sama sekali ketika aku masih kecil. Imlek berlalu begitu saja. Tidak ada perayaan atau pesta makan malam bersama sama sekali. Kadang Bapak membeli kue kranjang saja. Aku pun tidak tahu kalau kue tersebut “hanya” ada di masa Imlek saja. Pernah aku minta kepada ibu untuk dibelikan kue kranjang, tapi tidak pernah dibelikan, lha wong mintanya bukan pada masa Imlek.

Tentu Bapak mempunyai pertimbangan tersendiri mengapa tidak pernah memperkenalkan budaya dan tradisi China dalam keluarga kami. Atau mungkin pada masa itu, tindakan Bapak adalah yang terbaik bagi kami. Hubunganku dengan teman-teman sekampung biasa-biasa saja selayaknya anak-anak, kadang baik – kadang berantem. Aku dan teman-teman sebaya di kampung bermain seperti biasa, walaupun kadang aku merasa dicurangi. Entah mengapa. Pernah pula, beberapa kali bahkan, aku juga dijothake (dikucilkan) teman-teman, tanpa sebab yang jelas pula. Mungkinkah karena ada darah Chinesse mengalir dalam diriku, walau hanya setengahnya? Ada seorang anak Chinese dari kampung sebelah. Kasihan dia. Sering kali menjadi bahan olok-olok teman-teman.

Dengan kondisi seperti itu, mungkin tidak mengenalkan budaya Chinese sama sekali adalah yang terbaik bagi kami. Apalagi kami bersekolah di sekolah negeri, dari SD sampai Kuliah. Chinese benar-benar menjadi minoritas. Aku pun dibiasakan untuk berbahasa Jawa, bahasa Jawa halus bahkan. Ini mungkin untuk “menutup” kecinaanku. Dibandingkan teman sebaya, bahasa Jawa-ku dianggap lumayan oleh orang-orang tua, walaupun aku sendiri merasa bahasa Jawa-ku cukup acak adul he..he..he..

Perkenalan pertamaku dengan tradisi Chinesse terjadi waktu aku kelas 3 atau 4 SD, sewaktu Simak (ibunya Bapak) meninggal dunia. Aku diberi pakaian putih-putih dan mengikuti saja apa yang dilakukan Bapak. Kalo Bapak duduk, aku ikut duduk. Kalau Bapak berdiri disamping peti jenasah, aku juga berdiri di samping peti, di belakang Bapak. Kalau Bapak mengepalkan kedua tangannya di depan dada, dan menggoyang-goyangkan maju mundur dua atau tiga kali, aku pun melakukan gerakan yang sama.

Duduk, berdiri di samping peti, goyang-goyang kepalan tangan di depan dada. Hal itu kami lakukan seharian. Dari siang hari ketika kami sampai ke tempat Simak disemayamkan sampai malam hari.

Maesongan. Akhirnya Bapak memberikan keterangan singkat mengenai apa yang kami lakukan saat itu. Suatu tradisi Chinese untuk penghormatan kepada orang yang baru saja meninggal, pada malam sebelum dimakamkan, atau di kremasi.

Sesungguhnya hanyalah darah Chinese yang mengalir dalam darahku ini, dengan SBKRI yang harus menyertai, namun tidak budayanya. Ada perasaan ingin mengenal budaya dan tradisi tersebut. Namun ternyata aku hanya mengenalnya sebagai pengetahuan saja. Tidak ada soul-nya. Tidak ada roh-nya. Aku telah tercabut dari tradisi leluhur Bapak.

Semoga kita semua dapat semakin menghargai kebhinekaan yang ada, dan dapat hidup rukun sebagai saudara. Semoga kita semua dapat semakin didewasakan oleh pengalaman yang telah kita lalui bersama sebagai bangsa. Semoga luka-luka yang pernah ada, dapat segera terobati.

Selamat Hari Raya Imlek, Gong Xi Fat Chai!!!

31 thoughts on “Aku Tercabut dari Tradisi Leluhur Bapak.

  1. Bro… aku terharu sekali membaca tulisan ini. Tulisan dari hati. Yang mungkin hanya orang-orang minoritas yang bisa memahaminya (akupun termasuk minoritas lah… bisa dibaca di komentarku di :http://imelda.coutrier.com/2009/01/07/how-jawa-are-you/)

    Tapi jangan kecil hati Bro, masih bisa mempelajari kebudayaan itu. Kebudayaan Chinese, maupun kebudayaan INDONESIA yang amat beragam itu. Kadang kita perlu berada di luar kebudayaan itu untuk bisa lebih mempelajari dan memahaminya.

    Dan aku lebih suka memakai kata, “kami makhluk planet bumi” 宇宙人 istilah yang aku temukan di bahasa Jepang , melebihi “manusia inter – nasional” 国際人.

    Selamat hari Raya Imlek ya.

    EM

  2. aku baru tau kalo mas ada keturunan chinese nya, pantes matanya agak sipit 😀
    aku juga punya seorang sahabat yang sekarang bermukin di tokyo, dan masalah bermula ketika kerusuhan yg terjadi dijakarta dan papanya harus mengungsi ke kalimantan. dia adalah temen sebangkuku smu kelas 3 dan dia adalah cewek terpintar dikelasku.

  3. Tulisan dari hati memang akan selalu berhasil menyentuh hati, Bro… Sungguh, aku sendiri menyangka dirimu adalah orang asli Jawa..

    Kenalilah budayamu, Bro. Sudah waktunya menghapus luka itu..
    Yuk… Ntar ajarin aku ya.. 🙂

  4. Saya baru tau kalau kamu itu ada keturunan Tionghoanya
    Ketika kamu menulis mengenai Peringatan Meninggalnya Ayah tercinta …

    Keragaan fisikmu sama sekali tidak mencerminkan hal itu …

    Malah saya yang mirip Tionghoa …

    hehehe

    • Tulisan yg sangat bagus, Mas. Ringan, namun mengena. Kebhinekaan Indonesia mencantumkan peranan keturunan Chinese dalam sejarahnya, dan sudah sepantasnya seluruh warga negara Indonesia mengapresiasinya dengan lebih baik.

      Gong Xi Fat Cai, Bro 🙂

      • Lah, kok malah masuk di sini ya comment saya? Jadi seperti bermaksud menanggapi comment-nya Om NH 😀

        Eniwei, beneran loh, kusangka Om NH beneran keturunan Chinese 😉

      • makasih Reva..untunglah para founding father kita sadar akan kebhinekaan itu… smoga kebhinekaan itu semakin memperindah bangsa ini, bukan menimbulkan luka

  5. Aku pun terharu dengan tulisan ini. Sekalipun saya Jawa asli, namun teman2 sedari kecil hingga sekarang banyak yang Chinese. Dan bergaul dengan mereka sangat menyenangkan, karena rata2 temanku yang Chinese memiliki karakter khas : Ulet, Loyal, Bersahabat, dan hangat.

    Gong Xi Fat Cai, Bro. Semoga di tahun baru ini mimpi-mimpi kalian menjadi kenyataan. Amin

    • Mbak Riris.. semoga kita semua dapat hidup rukun sebagai saudara, siapa pun itu tanpa membedakan suku, agama, golongan, ras, ideologi, atau semua atribut-atribut pembeda yg lainnya

      sungguh indah hidup berdampingan 😀

  6. Berto, nasib kamu sama ma aku cuman tradisi itu uda terputus dari nenekku setelah beliau menikah dgn kakekku yg Jawa asli. Aku cuman denger cerita aja dari beliau waktu aku kuliah dulu. Sebelum itu aku kira aku 100% Jawa, bahasa Jawaku medok banget, even pas ngomong pake bhs Inggris juga accent-nya Jawa.. hahaa.. Pantesan dari kecil aku lebih suka Shaolin Kungfu daripada Pencak Silat.
    Oya Berto, di SMP kamu selalu jadi yg terpandai di sekolah, kamu inget ga kita pernah sekelas di kelas 2E, kalo mo ada ulangan kamu belajar cuman pagi sebelum bel bunyi. Aku begitu amazed ama kamu, melihat fenomena di diri kamu membuatku percaya bahwa Roh Kudus bekerja dalam diri kamu, sampe2 aku curious banget pas kamu berkeringat, keringatmu menodai seragam di bagian (maaf) ketiak kamu menjadi warna kekuning2an. Waktu itu aku pikir ini pasti bagian dari fenomena itu, orang punya kelebihan pasti punya kelebihan lain juga. Aku somehow waktu itu mau mengadakan “penyelidikan” whatever it is, tapi approach-ku ke kamu ternyata tidak membuat kamu senang, dan aku ingat kamu tendang aku di dadaku sampe seragamku kotor. Aku heran waktu itu, tapi keburu bel berbunyi dan aku belum sempat meminta clarification dari kamu dan aku belum sempat meminta maaf, sampe sekarang aku masih teringat.
    Berto, di kesempatan ini ijinkan aku untuk MEMINTA MAAF atas apa yg kuperbuat itu, yang membuat kamu memutuskan utk menendangku. Sekarang kutahu kamu melakukan itu karna kekomplex-an pengalaman buruk (dijothakke dgn sebab tak jelas, dsb.)kamu merasa sbg. minoritas. Kamu tidak tahu bahwa kita mewarisi leluhur yang sama. Sekali lagi Berto, maafkan aku.

    Gong Xi Fat Chai!

    • Dear Ipung, jujur aku lupa mengapa aku sampai menendang dirimu (setelah kamu ingatkan di comment ini aku baru ingat peristiwa itu, jujur aku lupa sebelumnya)… itu pertanda bahwa aku hanyalah manusia yg lemah, banyak kekurangannya

      dari lubuk hati yg terdalam, aku minta maaf

      sekali lagi, aku minta maaf ipung (a.k.a Pur****o Ra****o)

      • Huahahahaaa… Kok malah maaf-memaafkan.. hihii.. okaylah, Berto!

        Makasi uda maafin aku, Berto (a.k.a. Al****o M******l W****a)

  7. Saya sudah tahu Bro berdarah Chinesse dari … siapa lagi kalau bukan … (nah tuh, sudah komen di atas, yang fotonya imut … 🙂 ).

    Bro, di SMA saya punya banyak teman Chinesse, dan semuanya baik. Yang saya salut dari teman-teman ini, mereka sangat tekun belajar. Bahkan salah seorang, yang sudah memiliki rencana untuk langsung kerja seusai SMA, masih dengan gigih belajar sampai ikut les segala macam, untuk mendapatkan nilai terbaik. Padahal saya, yang berniat kuliah, belajarnya gitu-gitu aja … hiks!

    Sekarangpun saya punya beberapa teman baik Chinesse, dan nggak ada hambatan sama sekali. Berteman dengan seseorang dari latar belakang apapun, bagi saya nggak ada bedanya. Bukankah yang utama adalah ketulusan hati dan kebaikan budi?

    • lho .. sdh tahu ya.. wah siapa tuh yg buka rahasia kekekekkek

      benar Ibu Tuti.. ketulusan hati dan kebaikan budi bisa berasal dari siapa saja, dan seyogyanya untuk semuanya, tanpa membeda-bedakan

  8. Bro… aku punya teman masa kecil yang sangat akrab, namanya A Seng. Persahabatan kami sangat baik. Kemana-mana kami selalu bersama. Berteman dengannya membuatku dapat dengan mudah bermain di rumahnya dan melihat tradisi leluhurnya. Dari sini aku mulai memahami “perbedaan” untuk akhirnya menghargainya. Mudah-mudahan suatu saat aku bisa menuliskan cerita ini…

    Bro… budaya Cina adalah budaya terbaik di muka bumi ini. Tradisi keilmuannya diakui sejarah. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri mengatakan: “Tuntutlah ilmu, meski sampai ke negeri Cina“. So, tak ada alasan untuk tidak mempelajarinya.

    Bro… Selamat Imlek ya… semoga hidup kita penuh dengan kedamaian 🙂

  9. Saya mau komentar lagi ya Bro disini …

    Membaca postingan kamu sekali lagi …
    Saya harus berterima kasih pada Ayah saya yang menyekolahkan saya di suatu sekolah swasta … (SD dan SMP)

    Murid di sekolah ini sangat beragam latar belakangnya …
    Baik SES maupun etnis …
    So … didalam kamus saya …
    tidak ada itu kosa kata yang namanya pengucilan …

    Dan dari sini lah saya belajar apa itu yang namanya toleransi dan adaptasi …

    Salam saya Bro …

  10. aku nggak ada darah cina, dan nggak pernah bercita2 akan memberikan darah cina pada keluargaku. tapi ndilalah kok entuk bojo cino yo mas? hahaha. tapi dg begitu,aku jadi betul2 melihat bahwa Indonesia itu sangat kaya budaya. dan aku malah tertarik utk mengetahui budaya2 lainnya yg ada di Indonesia–salah satunya ya budaya Cina. sepertinya menarik ya.

  11. @Ria…aku mungkin juga punya darah keturunan lho..mataku kan kecil juga…

    Membaca ini semakin memberikan pemahaman, bahwa terkadang perlakuan golongan mayoritas ke minoritas sangat kuat dan membuat tertekan. Karena dibesarkan dari keluarga yang menghargai perbedaan, masa kecil saya bebas berbaur dengan teman dari suku dan bangsa lain, juga agama lain. Ayah ibupun tak melarang saya ikutan ke gereja. Bahkan saya menyadari masuk golongan mayoritas baru setelah kuliah, yang membuatku malah tertekan, rasanya aneh kalau mendengar orang kurang menghargai etnis lain.
    Padahal…dengan adanya keberagaman, kita makin mengerti budaya yang bermacam ragam di Indonesia ini dan sangat menarik untuk mempelajarinya.

    Sebaiknya program asimilasi perlu didukung…agar kita makin kaya budaya dan menghargai perbedaan

  12. Aku baru tau kalau kamu cino. Kupikir kamu Jowo.
    Aku adalah orang Jowo asli tapi entah kenapa buanyak sekali orang bilang aku cino. Tapi karena kebetulan sejak kecil hingga sekarang temanku kebanyakan cino, opo meneh bojoku yo cino tulen, jadi aku mengerti dan memahami betul bagaimana sejarah menggerakkan roda hidup manusia-manusia asia timur raya.

    Selamat tahun baru.. Sama seperti kata Imel, tulisan ini menyentuh!

  13. hai mas albert 🙂

    udah lama saya nggak mampir kemari.

    sebelumnya kiong hi si nien.. *sebelum capgomeh kan masih suasana imlek 🙂

    btw, kalo boleh tahu sekarang masih buddisht atau apa?

Leave a comment