Menuju Papa’ Batu

Aku sudah beberapa kali mempunyai kesempatan untuk berkunjung ke Toraja. Selama ini aku mengandalkan peta serial Periplus Travel Maps. Peta tersebut sangat membantu, dan dalamnya dicantumkan juga lokasi lokasi menarik yang cukup terkenal dan banyak dikunjungi wisatawan, dan disertai juga dengan review singkat lokasi tersebut. Di dalam petanya sendiri lokasi-lokasi tersebut yang direkomendasikan sudah diberi tanda. Singkat kata sangat membantu untuk mencapai lokasi-lokasi yang menjadi menu “wajib” bagi wisatawan.

Sudah beberapa lama aku mendengar tentang tongkonan batu, tongkonan beratap batu, di Toraja. Konon tongkonan ini sudah sangat tua, ratusan tahun. Cukup untuk menarik dikunjungi, namun sayang, lokasinya tidak tercantum dalam peta andalanku. Setelah beberapa saat bertanya tanya lewat mbah Google, informasi yang aku dapatkan mengenai lokasinya hanyalah terletak di Desa Banga’, Kecamatan Rembon, Kabupaten Tana Toraja. Dari Kota Makale, ibu kota Kabupaten Tana Toraja, kita harus menempuh perjalanan 10 kilometer ke arah barat sebagaimana tercantum di sini.

Continue reading

Tips for Toraja Trip

Tak terasa telah lebih dari 3 bulan sudah blog ini tidak ter-update. Alasan klasik, sedang banyak pekerjaan. Bahkan untuk berkunjung ke tempat teman-teman sekalian pun jarang. Maaf.

Bersamaan dengan “bangkitnya” kembali BroNeo dari mati suri di dunia maya, saya akan men-sharing-kan beberapa pengalaman perjalanan ke Tana Toraja yang sempat aku nikmati pada saat libur lebaran kemarin. (hadooohhh.. .lebarannya kapan… sharingnya kapan…)

Saya coba tulis dalam beberapa postingan karena banyaknya pengalaman yang ingin saya sharing-kan.

Let’s start with tips for Toraja Trip.

 
 
 

Toraja .. 8 jam perjalanan darat dari Makassar

 

  Continue reading

Pesona Toraja – Palopo

Dalam melakukan pekerjaan aku dituntut untuk banyak melakukan perjalanan ke beberapa area. Ini adalah sepenggal sharing pengalaman dalam perjalananku, Pare-Pare – Rantepao (Tana Toraja) – Palopo – Soroako. Sepenggal kisah path Pare-Pare – Toraja telah aku sharing-kan dalam tulisan Berkibarlah Benderaku.

 

Ini adalah penggalan berikutnya. Toraja – Palopo.

Tulisan mengenai penggalan Palopo – Soroako berikut keindahan dan ketenangan Danau Matano akan menyusul dalam tulisan selanjutnya.

 Sebenarnya route Toraja – Palopo pernah aku lewati, namun waktu itu telah malam sehingga tidak tampak keelokan alamnya.

 

Perjalanan dari Rantepao ke arah Palopo diwarnai dengan tanjakan, turunan dan kelokan. Pemandangannya sungguh asri. Dari Rantepao, kami harus merambat mendaki gunung. Gugusan gunung itu cukup tinggi sehingga selalu tertutup awan di puncaknya. Ketika merayapinya seakan-akan kita menuju dan memasuki “wilayah” yang lain. Ada suasana magis yang menyelimuti. Kental terasa.

 

Sebelum menembus puncak berbalut awan tersebut, kami melewati perkampungan-perkampungan masyarakat Toraja. Banyak sekali kami menjumpai rumah adat Toraja (tongkonan), baik yang masih baru maupun yang sudah cukup tua. Sangat beruntung aku sempat melihat orang membangun atap tongkonan.

 

Tongkonan yang sudah jadi dan yang sedang dalam proses pembuatan atap

Tongkonan yang sudah jadi dan yang sedang dalam proses pembuatan atap

  Continue reading

Pemberani, Nekat, atau Gegabah?

Antara pemberani, nekat, atau gegabah mungkin tipis sekali bedanya. Setidak-tidaknya itulah yang pernah aku alami. Minimal dua kali. Dan dua-duanya berhubungan dengan nyetir, malam-malam, lewat jalan yang belum pernah aku lalui sebelumnya. Jaraknya kurang lebih sama juga, sekitar 60 km saja. Dan dua-duanya atas nama “melakukan tugas kantor”. Ciele…

Pertama adalah perjalanan Balikpapan – Samarinda – Bontang – Sangatta, pada section Bontang – Sangatta.

Sore hari jam 16.30an aku telah sampai di pertigaan jalan yang memecah route menjadi dua, arah Sangatta dan Bontang. Jarak ke Bontang sekitar 10 – 20 menitan saja, sedangkan jalan ke Sangatta kurang lebih 60 km.

Karena perut mulai terasa lapar (he..he.. sesuai dengan bentuk tubuh yang sedikit montok), aku memutuskan singgah di Bontang sebentar untuk istirahat sejenak sambil makan. Toh dekat saja. Maklum setelah mengemudi sendirian Balikpapan – Samarinda – pertigaan ini, badan terasa capek, dan perlu istirahat juga.

Setelah beristirahat sejenak, dan mengisi perut, pukul 17.45an aku masuk ke mobil lagi, lanjut ke Sangatta. Aku call team yang sudah berangkat ke Sangatta terlebih dahulu, cari info kondisi jalan.

”Sepuluh kilo pertama OK Pak, setelah itu.. .hemmm Bapak lihat sendiri saja”

Upppsss… gumanku dalam hati. Bakal menantang neh!

”Mudah-mudahan tidak hujan Pak!!” kalimat terakhir yang diucapkan team pendahulu.

 

Benar teman.. setelah kurang lebih 10 km berjalan, mulai deh. Goyang kiri… goyang kanan… Ajut-ajutan…!

Ajriittt. Jalannya hancur. Bukan sebagian kecil, tapi sebagian besar!

Ini naik mobil atau rodeo yach??

Konsentrasi tingkat tinggi. Kendaraan-kendaraan besar yang jadi teman perjalanan. Selain jalan yang acak adul, penerangan benar-benar mengandalkan lampu mobil. Tidak ada penerangan jalan umum.

– Kenapa yach, jalan yang menghubungkan dua kota tambang eneri, batu bara di Sangatta dan Gas Alam di Bontang, tidak ada listrik penerangan. Kemana sumber daya itu diserap??? –

Kecepatan kendaraan benar-benar rendah, sebagian besar tidak bisa lebih dari 15 km per jam. Ada yang mulus sedikit… hajar!!! Coba menikmati kelajuan sebisa mungkin. Tiga kali sempat bagian bawah mobilku terantung batu atau lobang.

Pantesan Sangatta batal menjadi tuan rumah PON 2008 Kaltim, mau para atlitnya sakit pinggang semua sebelum bertanding?

Pikiranku melayang, gmana ini kalau maceet di jalan. Gmana kalau pecah ban! Pikiran itu benar-benar mencekam diriku. Ditengah pikiran yang melayang-layang itu, tiba tiba:

”Gubrakkk!!!!!!”

Keras sekali suara di belakang. Upss… apa ne??

Aku jalan perlahan, kendaraan masih berjalan sesuai kendali. Aku lihat dari spion, tidak ada yang mencurigakan.

Oalah… ternyata kursi paling belakang terpelanting dari ikatannya. Saking parahnya jalan, sampai-sampai kait yang mengikat kursi belakang terlepas, dan kursinya terbanting ke bawah, menimbulkan suara keras sekali tadi.

Pukul 21.00an terlihat tanda, Sangatta 6 km, dan jalan mulai membaik. Horreeee…. nyampai juga.

Setelah bertemu team yang berangkat terlebih dahulu, satu komentar singkat dari mereka, ”Nekat juga Bapak ini, jalan malam sendiri!”

Berikut gambar jalanan Bontang – Sangatta yang aku pinjam dari sini:

sangatta - bontang 1

sangatta - bontang

 

Pengalaman kedua, tidak berbeda jauh dari pengalaman pertama. Routenya Pare – Pare  – Rappang – Rantepao (Tana Toraja) – Palopo. Path Rantepao – Palopo. Dan lagi – lagi, atas nama “menjalankan tugas kantor”.

Hujan rintik mulai mengguyur kota Rantepao sekitar jam 17.00an. Saya beserta dua teman saya baru masuk tempat makan, sekali lagi makan siang yang telat. He..mmm demi makanan khas Toraja yang konon mak nyus, aku rela menahan lapar sesiang tadi. Informanku memberi tahu bahwa makanannya benar-benar nikmat, tapi lha kok gak ngasih info kalo persiapan makanan tersebut minimal 2 jam. Idealnya 3 jam. Makin melilit deh perut. Sialan… informan gak lengkap neh!

Singkat cerita, karena sang koki iba, maka dimasaklah menu tersebut dalam satu setengah jam saja. Cukup uenakkk, tapi sedikit kurang empuk. Tak apalah demi perut yang makin melilit ini.

Sambil menunggu makanan, kami sempat mengobrol dengan pemilik rumah makan tersebut.

“Tidak nginap di sini saja Pak?”katanya dengan nada keheranan.

“Tidak Bu, saya ada janji ketemu orang di Palopo” kataku.

“Wah jauh lho…. lagi pula hujan gini” ada nada khawatir dalam suara ibu itu.

Cuma 60 km aja… gumanku dalam hati. Bontang – Sangatta aja tembus, apalagi ini, jalannya cukup mulus, meskipun berkelok dan agak sempit.

“Ati-Ati Nak” ucap ibu itu ketika kami bergerak menuju kendaraan.

 

Hujan mengguyur makin deras. Pukul 19.15an aku meninggalkan Rantepao menuju Palopo.

Jalan lumayan mulus, tapi hujannya bok… deres banget. Dan sangat gelap.

Uh.. mana lampu kendaraan tidak terlalu terang lagi.

Benar-benar merayap dalam gelap.

Setelah 30 menitan, jalanan makin menanjak. Jujur aku tidak tahu apa, tapi ada kesan magis yang mencekam. Ada hitam yang aneh. Kegelapan yang tidak biasa.

Hmm…. Gusti Nyuwun Pangestu Dalem doaku singkat dalam hati.

Ada gentar di dadaku.

 

Kami sempat mendahului beberapa sepeda motor yang menembus hujan dalam ketinggian jalan yang membelah gunung-gunung yang memisahkan Rantepao dan Palopo. Kagum aku pada mereka,  bisa menembus jalur itu dengan sangat santai.

 

Tak terhitung kelokan tajam dan beberapa longsor harus aku rayapi. Penderitaan makin lengkap dengan mulai pusingnya kepalaku. Biasa, kalau terlambat makan pasti pusing seperti ini. Apalagi tadi telat makannya cukup akut.

Sementar temen seperjalanan tampak terlelap. Hmm… smakin nelangsa deh.

 

Setelah lebih dari 3 jam, akhirnya aku dapat melihat kota Palopo dari kejauhan. Uh… akhirnya. Sampai juga akhirnya aku di Palopo.

 Nah, kalo yang ini gak ada fotonya,  karena gelap banget uey…

Keseokan harinya, HP-ku bergetar. Nama rekan di Makassar muncul di layar.

”Hallo Broww….” kataku

”Di mana loe?”

”Palopo bos”

”Bukannya di Rantepao???”

“Smalem gue kesini, ada apa ya?”

“Gila loe, malam-malam jalan sendiri. Bahaya lagi jalur Rantepao – Palopo”

“Bener Bro, gelap banget dan ada kabut, ujan lagi!”

“Gila loe, gila…gila. Rawan lagi situ, banyak longsor. Rampok juga banyak tahu!!”

Gubrak!!! Ternyata jalur Rantepao memang sangat rawan, selain berkabut, gelap, berkelok-kelok, banyak longsor, banyak rampok lagi!

Untung perjalanan semalam masih dalam lindungan Gusti.

 

Hem… jadi aku termasuk pemberani, nekat, atau gegabah ya?

Kalo menurut temanku sih, yang jelas aku GILA! He..he… sampai empat kali dia menyebutku gila.

 

Bagaimana dengan Anda?

Apakah anda Pemberani? Gegabah? Atau Nekat?

 

Pare, Juli 09