Guntur masih terus bersahutan di kejauhan Angin keras menerpa, membuat rumah bambu tua di tepi pantai berderit derit. Daun pintunya menghentak-hentak gerendel kayu penahannya. Pintu yang tidak pernah tertutup rapat itu berguncang-guncang seiring dengan hantaman angin. Kilatan cahaya sesekali menempus celah celah anyaman bambu dinding rumah. Telah lebih dari tiga jam bayang-bayang seorang ibu muda yang tengah memeluk anaknya bergoyang goyang seiring goyang nyala lampu minyak diatas meja kayu. Ember-ember pemampung tiris mujan mulai penuh, dan airnya mulai membasahi lantai tanah.
Maryam bersenandung lirih sambil menimang Bagas agar tertidur. Dipeluknya Bagas di balai-balai bambu. Diselimutinya tubuh mungil itu dengan selembar sarung lusuh untuk sekedar menghangatkan tubuhnya, dan menghindari cipratan air yang mengucur. Seraut kegalauan terbersit di wajah Maryam.
Malam berbadai telah berlalu. Matahari cerah bersinar. Namun kecerahan itu tetap saja tampak muram bagi beberapa wanita yang berdiri di tepi pantai. Mereka memandang ke laut lepas. Dikejauhan tampak perahu bergerak pelan. Terseok-seok dibawa gelombang.
“Hanya dua perahu Mak” bisik Maryam pada wanita tua disampingnya.