Debar di Palopo – Soroako

Setelah menyusuri sambil menikmati jalur Parepare – Rantepao (Tator) – Palopo, pagi itu aku bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Palopo – Soroako. Jarak sejauh lebih dari 200 km akan aku tempuh PP. Karena keesokan harinya aku sudah harus kembali ke Parepare di sore hari. Jadi daripada besok aku harus menempuh perjalanan 10 jam dari Soroako, lebih  baik malam ini aku kembali bermalam di Palopo.

 

Seperti biasa, sebelum berangkat aku periksa secara singkat kondisi kendaraan. Tekanan ban OK, rem OK, semua lampu bisa menyala dengan baik. BBM lebih dari setengah kapasitas full. Bekal minum di perjalanan siap.

 

OK. Siap berangkat.

 

Jalur yang aku tempuh relative datar, tidak banyak tanjakan dan turunan. Kendaraan bisa aku pacu cukup kencang. Memasuki kota Masamba, Luwu Utara aku berencana mengisi BBM. Hmm SPBU ramai sekali. Antrian cukup panjang. Karena memburu waktu, udah nanti saja isinya. Toh masih banyak.

Selepas kota Masamba, ada SPBU lagi. Heemm sepi neh. Hanya ada 2 truck saja. It’s time to re-fuel! But… lhaik “premium habis”, sebuah tripleks dengan tulisan seadanya bertengger di pintu masuk. Alamak…. Cari SPBU lain.

Kendaraan melaju lagi. Kami coba menghubungi teman-teman yang bertugas di Luwu Utara dan Luwu Timur. Mencari informasi. Yup!!! Next SPBU ada di Wotu. OK lanjut…, meskipun dengan hati mulai berdebar-debar. Sebuah informasi: Premium langka di Lutra (Luwu Utara) dan Lutim (Luwu Timur).

Sesampai Wotu, kondisi sama saja. Papan dengan tulisan HABIS kembali terpampang.

“Coba di Mangkutana Pak,” info seorang penjaga SPBU.

Waiiittt.. Mangkutana mah di sudah mengarah ke Sulawesi Tengah. Arah-arah Poso gitu. Jalur kami tidak ke sana.

 

Kami berbelok ke arah Malili, ketika menjumpai pertigaan dengan penunjuk arah Malili dan Mangkutana. Malili adalah ibukota Lutim. Jaraknya masih 60 km lagi dari pertigaan itu. Jalannya cukup mulus namun sempit. Kami melaju melintasi perkebunan sawit. Hati terus berdebar-debar, sementara persediaan BBM memakin menipis. Penunjuk jumlah BBM semakin mendekati strip terakhir.

  Continue reading

Bayar Hutang

Hutang… Tentu kita tidak nyaman kalo kita punya hutang. At least itulah yang aku rasakan. Aku kadang heran lihat orang memamerkan kartu kreditnya. Suer aku tidak bangga punya kartu kredit. Lha wong punya bukti hutang kok bangga lho ya?? Dan kalo aku mau bertansaksi dengan menggunakan kartu kredit, selalu aku awali dengan “Boleh hutang tidak?” :-p

Namun coretan ini bukan masalah hutang atau kartu kredit. Ini adalah hutang tulisan.

Dalam tulisanku tentang Gunung Nona, ada termuat “-Kisah tentang Toraja dan perjalanan ke Palopo akan menyusul pada tulisan selanjutnya-“. Nah, inilah hutang yang coba aku bayar dengan tulisan singkat ini.

Mengenai Toraja, sebenarnya ada banyak cerita, namun mungkin jauh lebih banyak cerita yang terekam lewat gambar-gambar disini.

Sedangkan cerita perjalanan ke Palopo secara singkat sudah tersirat di kisah ke-GILA-an ku.

He..he… so dengan tulisan singkat ini, hutangku terbayar yach. Meskipun sedikit licik kalo tidak boleh dibilang smart.

Bagaimana dengan Anda? Adakah hutang tulisan yang harus dilunasi?

Pare, Juli 09

Pemberani, Nekat, atau Gegabah?

Antara pemberani, nekat, atau gegabah mungkin tipis sekali bedanya. Setidak-tidaknya itulah yang pernah aku alami. Minimal dua kali. Dan dua-duanya berhubungan dengan nyetir, malam-malam, lewat jalan yang belum pernah aku lalui sebelumnya. Jaraknya kurang lebih sama juga, sekitar 60 km saja. Dan dua-duanya atas nama “melakukan tugas kantor”. Ciele…

Pertama adalah perjalanan Balikpapan – Samarinda – Bontang – Sangatta, pada section Bontang – Sangatta.

Sore hari jam 16.30an aku telah sampai di pertigaan jalan yang memecah route menjadi dua, arah Sangatta dan Bontang. Jarak ke Bontang sekitar 10 – 20 menitan saja, sedangkan jalan ke Sangatta kurang lebih 60 km.

Karena perut mulai terasa lapar (he..he.. sesuai dengan bentuk tubuh yang sedikit montok), aku memutuskan singgah di Bontang sebentar untuk istirahat sejenak sambil makan. Toh dekat saja. Maklum setelah mengemudi sendirian Balikpapan – Samarinda – pertigaan ini, badan terasa capek, dan perlu istirahat juga.

Setelah beristirahat sejenak, dan mengisi perut, pukul 17.45an aku masuk ke mobil lagi, lanjut ke Sangatta. Aku call team yang sudah berangkat ke Sangatta terlebih dahulu, cari info kondisi jalan.

”Sepuluh kilo pertama OK Pak, setelah itu.. .hemmm Bapak lihat sendiri saja”

Upppsss… gumanku dalam hati. Bakal menantang neh!

”Mudah-mudahan tidak hujan Pak!!” kalimat terakhir yang diucapkan team pendahulu.

 

Benar teman.. setelah kurang lebih 10 km berjalan, mulai deh. Goyang kiri… goyang kanan… Ajut-ajutan…!

Ajriittt. Jalannya hancur. Bukan sebagian kecil, tapi sebagian besar!

Ini naik mobil atau rodeo yach??

Konsentrasi tingkat tinggi. Kendaraan-kendaraan besar yang jadi teman perjalanan. Selain jalan yang acak adul, penerangan benar-benar mengandalkan lampu mobil. Tidak ada penerangan jalan umum.

– Kenapa yach, jalan yang menghubungkan dua kota tambang eneri, batu bara di Sangatta dan Gas Alam di Bontang, tidak ada listrik penerangan. Kemana sumber daya itu diserap??? –

Kecepatan kendaraan benar-benar rendah, sebagian besar tidak bisa lebih dari 15 km per jam. Ada yang mulus sedikit… hajar!!! Coba menikmati kelajuan sebisa mungkin. Tiga kali sempat bagian bawah mobilku terantung batu atau lobang.

Pantesan Sangatta batal menjadi tuan rumah PON 2008 Kaltim, mau para atlitnya sakit pinggang semua sebelum bertanding?

Pikiranku melayang, gmana ini kalau maceet di jalan. Gmana kalau pecah ban! Pikiran itu benar-benar mencekam diriku. Ditengah pikiran yang melayang-layang itu, tiba tiba:

”Gubrakkk!!!!!!”

Keras sekali suara di belakang. Upss… apa ne??

Aku jalan perlahan, kendaraan masih berjalan sesuai kendali. Aku lihat dari spion, tidak ada yang mencurigakan.

Oalah… ternyata kursi paling belakang terpelanting dari ikatannya. Saking parahnya jalan, sampai-sampai kait yang mengikat kursi belakang terlepas, dan kursinya terbanting ke bawah, menimbulkan suara keras sekali tadi.

Pukul 21.00an terlihat tanda, Sangatta 6 km, dan jalan mulai membaik. Horreeee…. nyampai juga.

Setelah bertemu team yang berangkat terlebih dahulu, satu komentar singkat dari mereka, ”Nekat juga Bapak ini, jalan malam sendiri!”

Berikut gambar jalanan Bontang – Sangatta yang aku pinjam dari sini:

sangatta - bontang 1

sangatta - bontang

 

Pengalaman kedua, tidak berbeda jauh dari pengalaman pertama. Routenya Pare – Pare  – Rappang – Rantepao (Tana Toraja) – Palopo. Path Rantepao – Palopo. Dan lagi – lagi, atas nama “menjalankan tugas kantor”.

Hujan rintik mulai mengguyur kota Rantepao sekitar jam 17.00an. Saya beserta dua teman saya baru masuk tempat makan, sekali lagi makan siang yang telat. He..mmm demi makanan khas Toraja yang konon mak nyus, aku rela menahan lapar sesiang tadi. Informanku memberi tahu bahwa makanannya benar-benar nikmat, tapi lha kok gak ngasih info kalo persiapan makanan tersebut minimal 2 jam. Idealnya 3 jam. Makin melilit deh perut. Sialan… informan gak lengkap neh!

Singkat cerita, karena sang koki iba, maka dimasaklah menu tersebut dalam satu setengah jam saja. Cukup uenakkk, tapi sedikit kurang empuk. Tak apalah demi perut yang makin melilit ini.

Sambil menunggu makanan, kami sempat mengobrol dengan pemilik rumah makan tersebut.

“Tidak nginap di sini saja Pak?”katanya dengan nada keheranan.

“Tidak Bu, saya ada janji ketemu orang di Palopo” kataku.

“Wah jauh lho…. lagi pula hujan gini” ada nada khawatir dalam suara ibu itu.

Cuma 60 km aja… gumanku dalam hati. Bontang – Sangatta aja tembus, apalagi ini, jalannya cukup mulus, meskipun berkelok dan agak sempit.

“Ati-Ati Nak” ucap ibu itu ketika kami bergerak menuju kendaraan.

 

Hujan mengguyur makin deras. Pukul 19.15an aku meninggalkan Rantepao menuju Palopo.

Jalan lumayan mulus, tapi hujannya bok… deres banget. Dan sangat gelap.

Uh.. mana lampu kendaraan tidak terlalu terang lagi.

Benar-benar merayap dalam gelap.

Setelah 30 menitan, jalanan makin menanjak. Jujur aku tidak tahu apa, tapi ada kesan magis yang mencekam. Ada hitam yang aneh. Kegelapan yang tidak biasa.

Hmm…. Gusti Nyuwun Pangestu Dalem doaku singkat dalam hati.

Ada gentar di dadaku.

 

Kami sempat mendahului beberapa sepeda motor yang menembus hujan dalam ketinggian jalan yang membelah gunung-gunung yang memisahkan Rantepao dan Palopo. Kagum aku pada mereka,  bisa menembus jalur itu dengan sangat santai.

 

Tak terhitung kelokan tajam dan beberapa longsor harus aku rayapi. Penderitaan makin lengkap dengan mulai pusingnya kepalaku. Biasa, kalau terlambat makan pasti pusing seperti ini. Apalagi tadi telat makannya cukup akut.

Sementar temen seperjalanan tampak terlelap. Hmm… smakin nelangsa deh.

 

Setelah lebih dari 3 jam, akhirnya aku dapat melihat kota Palopo dari kejauhan. Uh… akhirnya. Sampai juga akhirnya aku di Palopo.

 Nah, kalo yang ini gak ada fotonya,  karena gelap banget uey…

Keseokan harinya, HP-ku bergetar. Nama rekan di Makassar muncul di layar.

”Hallo Broww….” kataku

”Di mana loe?”

”Palopo bos”

”Bukannya di Rantepao???”

“Smalem gue kesini, ada apa ya?”

“Gila loe, malam-malam jalan sendiri. Bahaya lagi jalur Rantepao – Palopo”

“Bener Bro, gelap banget dan ada kabut, ujan lagi!”

“Gila loe, gila…gila. Rawan lagi situ, banyak longsor. Rampok juga banyak tahu!!”

Gubrak!!! Ternyata jalur Rantepao memang sangat rawan, selain berkabut, gelap, berkelok-kelok, banyak longsor, banyak rampok lagi!

Untung perjalanan semalam masih dalam lindungan Gusti.

 

Hem… jadi aku termasuk pemberani, nekat, atau gegabah ya?

Kalo menurut temanku sih, yang jelas aku GILA! He..he… sampai empat kali dia menyebutku gila.

 

Bagaimana dengan Anda?

Apakah anda Pemberani? Gegabah? Atau Nekat?

 

Pare, Juli 09