28 Mei 2006

27 Mei 2006
Ranjang tempat ku terlelap bergoncang keras. Aku terpental dari tempat tidurku. Dengan kesadaran yang baru ngumpul, aku segera keluar kamar, menuju tangga darurat, dan langsung menapakinya. Empat lantai tidak terasa. Sesampai di halaman hotel, orang orang sudah banyak disana. Wajah mereka pucat, bengong, cemas beraduk menjadi satu. Pasti wajahku seperti mereka juga.
Gempa!! Gempa besar terjadi. Gempa terbesar yang pernah aku rasakan sendiri.
Sesaat kemudian beredar kabar, Jogja luluh lantak!! Pusat gempa di selatan Jogja.

Ups..berkaca kaca neh …

Oh … My God!!
Aku sekarang di Solo. Kurang lebih 60 km dari Jogja. Disini saja terasa sangat keras mengguncang, bagaimana di sana. Bagaimana Ibu? Bagaimana Mas & Mbak? Bagaimana Pakdhe & Budhe… sahabat-sahabat!! Orang orang yang aku cintai, bagaimana kalian?
Segera aku coba kontak Ibu. Tidak nyambung-nyambung juga. Tulalit, nada sibuk, dan suara mbak Veronica bergantian menyahut call-ku.
SMS not delivered.
Setelah kurang lebih 1 jam masuk SMS dari Mas Edo. ”Kami baik-baik saja, Ibu ada di sini”
Plong… lega luar biasa mendengar mereka selamat semua. Puji Tuhan.
Namun kecemasan tetap saja menghantui. Jogja. Kota kelahiranku. Kota tempat aku tumbuh dan berkembang. Sahabat, guru, saudara, teman kerja banyak yang di sana. Bagaimana mereka?

Sore sekitar jam 15.00 aku bisa menghubungi Mas. ”Semua baik-baik saja. Rumah hanya genteng saja yang melorot dan retak dinding dapur semakin lebar saja. Ibu sehat-sehat. Tidak usah pulang. Malah ngrepoti kamu. Kami baik-baik saja. Dah, kamu tenang saja. Tidak usah panik. Oh ya… HP kami lowbat, kalo tidak bisa kontak tidak usah bingung. Listrik padam. Kami tidak bisa nge-charge
Dalam hati aku ngeyel, kondisi seperti gini tidak boleh pulang. Disuruh tenang lagi. Mana bisa? Memang sifat Bapak yang satu ini mau tidak mau menurun ke kami juga. Tidak mau ngerpoti orang lain.

Hari itu aku dinas di Solo dengan gundah. Teman-teman se-project juga resah.

28 Mei 2006 – tepat 3 tahun lalu.
Aku bersama teman-teman se-project bergerak ke Jogja. RS. Bethesda. Mencoba memberi apa yang kami bisa.
Bus yang kami tumpangi melintasi Klaten. Sepanjang jalan kami hanya bisa mlongo. Hening. Termangu. Menatap kosong pada puing-puing bangunan. Reruntuhan bangunan itu meruntuhkan kesombonganku juga. Hanya debulah aku di alas kaki-Mu.

Sesampainya di RS Bethesda, hatiku makin terkoyak. Lahan parkir dijadikan tempat perawatan sementara. Gang-gang rumah sakit penuh dengan pasien. Rintih kesakitan menjadi senandung yang melantun membawa kepedihan.
Apa yang kami bisa? Kami tidak punya kemampuan apa-apa untuk menolong. Bahan makan dan selimut sudah kami serahkan. So…
Eit… tunggu dulu. Temen temen se-project kuat kuat. Lha wong atlet basket nge-top semua mereka. Dengan tenaga yang ada kami menjadi ”kuli”. Menggotong korban yang datang, maupun memindahkan beberapa korban untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sekedar memegang kantong infus pun tak apa lah.
Juga donor darah. Tuhan ini darah milikMu juga, pakailah untuk menolong mereka.

Berikut sejumlah dokumentasi yang sempat terekam. Nah.. kalo ini dokumentasi bukan aku yang ambil. Tapi rekan kerja yang lain. Aku upload di sini yan Mas DnK




May – 2008, 2 tahun setelah gempa.

Aku mendengar percakapan tetangga salah satu keluarga yang tinggal di Pundong, Bantul. Salah satu tempat paling parah akibat gempa 5.9 richter tahun 2006.

”Untung lho awake dhewe iki. Pancen okeh sing dadi korban. Pancen okeh sing tilar. Omah-omah dha ambruk. Ning sing dipendhet Gusti dudu panguripane dhewe. Ra kaya Lapindo. Sawah sawah dha klelep. Matine rak alon-alon to kuwi”
(Beruntung kita ini. Memang banyak yang jadi korban. Memang banyak yang meninggal. Rumah-rumah roboh. Tapi yang diambil Tuhan bukan penghidupan kita. Tidak seperti Lapindo. Banyak sawah tenggelam. Meninggalnya kan pelan-pelan)

Uh… kepasrahan dan rasa syukur yang luar biasa. Penyerahan diri yang membuat mereka, para korban, mampu bertahan dan mulai bergerak lagi untuk bangkit. Luar Biasa!!!

By the way, jangan lupa dengan Lapindo ya. Kasusnya belum tuntas lho…
Gempa Jogja & Lumpur Lapindo, dua bencana yang hampir bersamaan terjadi.
SBY Berbudi, JK-Wira- Mega-Prabowo… ingat Lapindo lho… mereka tercabut dari penghidupan mereka.

Pare Pare, May 09

Pret…Cepret… Potret

Pret… Pret… Cepret..
Bunyi khas kamera membawaku pada kenangan pada tahun 80an, ketika aku masih SD. Pada pertemuan keluarga besar, alias pertemuan Trah Karijapijoga di Muntilan, saat itulah pertama kali aku menekan tombol kamera. Pret… seiring kilatan lampu blitz yang menyala.
Hanya satu cepretan saja, namun cukup menjadi gerbang bagiku untuk masuk hobby yang satu ini. Fotografi.

Dengan sangat antusias, aku mencoba mendeskripsikan apa yang sempat aku jepret dengan kamera kepada Bapak. “Pasti OK Pak, penarinya sedang mengangkat kaki, selendangnya melambai gagah…” Demikianlah kurang lebih penggambaran yang aku berikan ke Bapak sepanjang perjalanan pulang. Bapak menanggapinya dengan serius sambil tersenyum simpul. “Kita lihat hasilnya nanti yach..”

Eng ing eng.. dua atau tiga hari kemudian, Bapak pulang sambil membawa hasil dokumentasi pertemuan trah. Tentu saja setelah filmnya dicuci cetak. Ups… apa yang terjadi….
PANTAT.. man!!!
Yach penari yang dengan gagah telah aku deskripsikan ternyata bagian belakang tubuhnya saja yang tampak… Lambaian selendang hanya tinggal kenangan karena yang terpampang adalah seonggok kain nglemprek.
“Lain kali latihan lagi ya….” hibur Bapak waktu itu.

Beberapa tahun kemudian, ayah sudah berani memberiku “pegangan” kamera untuk menyalurkan hobby. Dan mereknya adalah… Argus!!! What..!!! Kamera apa tuh.. ? Nama yang baru aku kenal pada saat menerima kamera dari Bapak. Bukan kamera baru, tapi kamera bekas. Tapi lumayanlah, sudah memegang kamera sendiri. Hasilnya lumayanlah untuk seorang anak SD.

-sayang saat ini hasil jepretan masa kecilku belum bisa aku share disini… maklum semua dalam bentuk hard copy, dan masih tersimpan di Jogja… belum di-scan –

Fotografi memang merupakan hobby yang cukup mahal (bahkan sampai saat ini masih terasa mahal), apalagi dulu semua harus dicetak jika ingin lihat hasilnya, tapi untung sekali Bapak sangat mensupport hobby itu.
Sebagai penjual barang bekas alias loakan di pasar Beringharjo, Bapak sering mendapat kamera atau lensa bekas yang kondisinya masih cukup OK. Sebagai pedagang mungkin Bapak cukup “aneh”. Jika mendapat barang bagus, Bapak tidak menjual lagi supaya mendapat untung besar, tapi justru dibawa pulang. He..he..he.. tentunya aku dan Mas Edo yang senang.

Selain kamera Argus itu, selanjutnya aku diberi pegangan beberapa kamera yang lain, aku tidak hafal dengan pasti.. Maklum lumayan banyak kamera yang sering aku pakai, lha wong pada dasarnya adalah dagangan Bapak di pasar. Yang aku ingat sih, pernah apakai Canon, Olympus, dan yang paling lama aku pegang adalah Nikon FM-2. Kadang juga memakai Nikon F-2 jika sedang tidak dipakai Bapak atau kakak. Dan semuanya tentu saja… bekas.

Karena merupakan hobby yang cukup mahal, saat SMA & kuliah, seringkali aku ikut dalam kegiatan sekolah/kampus, tentus saja dengan spesialisasi Sie Dokumentasi. He..he… menyalurkan hobby mumpung dibayari.
Namun sejak mengerjakan tulisan akhir dan bekerja hobby itu terhenti sama sekali. Maklum mesti hijrah ke Jakarta, dan semua kamera aku tinggal di Jogja. Lama tak pegang kamera. Tidak punya.

Setelah sekian lama menabung, akhirnya pada tahun 2007 awal, aku bisa membeli kamera sendiri. Meskipun kamera ecek-ecek, tapi suerrr.. itu satu satunya kamera yang pernah aku beli. Setidaknya sampai saat ini. Waktu itu sebenarnya ingin beli yang lebih OK, tapi karena keuangan terbatas yach terpaksa harus berkompromi situasi yang ada. Lumix FZ50 cukuplah..

Bicara hasil jepretan… wah masih jauh dari yang diidam-idamkan. Beberapa sudah sempat aku share di sini, just dokumentasi saja kan? Kalo mau mencari nilai seni atau artistik dan sebagainya…. nanti dulu lah. Masih jauh.
Berbeda dengan kakakku, Mas Edo. Lumayan bisa dinikamatilah karyanya. Apalagi didukung dengan hobby-nya ber-back packer ria bersama sang istri, mbak Tita. Klop dah… Kemampuan foto OK, object OK. Hasilnya (menurutku) OK OK banget.

Yach.. jeprat jepret dengan kamera alias fotografi adalah “satu-satu darah” yang mengalir dari Bapak dalam diri kami berdua. Aku dan Kakakku.
Tradisi leluhur Bapak… blank, tidak tahu sama sekali.
Darah dagang… hmmmm nanti dulu.
Darah masak memasak…. eit.. itu sama sekali tidak mengalir dalam darah kami.

Pare Pare
May 09

Gotham City

Dimanakah kota kelelawar?

Apa yang terlintas di benak kita jika kita dilontari pertanyaan seperti itu? Mungkin akan terlintas dibenak kita Gotham City, tempat Batman beraksi. Atau somewhere di lembah Arizona, sebagaimana digambarkan dalam film thriller Bats.
Atau mungkin ada juga terlintas kota Soppeng.
Soppeng? Wattansoppeng? Mana itu? Why??
Yup… Soppeng atau lebih tepatnya Wattansoppeng, adalah kota kecil, yang menjadi ibukota kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.
Sangat tepat jika kota kelelawar adalah Gotham City di dunia nyata. Bukan fiksi.
Kota ini sangat unik, karena tepat ditengah kota, terdapat ribuan atau bahkan puluan ribu kelelawar bergelantungan. Anehnya lagi, kelelawar-kelelawar tersebut hanya bergelantungan di pohon asam sekitar masjid raya saja. Bukan ditempat lain. Dan jangan dibayangkan kelelawarnya kecil-kecil. Sebesar kucing-kucing bo….
Sejak kapan kelelawar-kelelawar tersebut mulai bersarang di pusat kota Soppeng tidak ada yang tahu dengan pasti. Menurut kesaksian orang-orang tua, kelelawar itu sudah ada sejak mereka kecil. Bahkan mereka juga mendengar bahwa orang tua mereka juga sudah hidup bersama dengan kelelawar-kelelawar tersebut. Jadi secara temurun warga Soppeng menjadi saksi adanya fenomena ini. Namun demikian dalam naskah-naskah tua, seperti lontara, tidak disinggung sama sekali tentang keberadaan kelelawar-kelelawar.
(sebagaimana kita ketahui bersama lontara adalah salah satu sumber sejarah yang menjadi rujukan jika ingin mempelajari “seluruh” Sulawesi Selatan pada masa lampau)
Bagi kita, orang luar Soppeng, mungkin aneh dengan keberadaan kelelawar tersebut. Namun bagi warga asli yang sudah sekian puluh tahun hidup bersama, kehadiran kelelawar tersebut menjadi hal yang biasa. Bau menyengat dan pekik kelelawar sudah tidak mengganggu lagi.
Bahkan jika kelelawar-kelelawar tersebut pergi dan tak kembali, warga di Soppeng justru takut. Pertanda buruk. Sesuatu bencana atau musibah akan datang ke kota Soppeng. Yach… mereka percaya bahwa kelelawar itu bukan kelelawar biasa.
Pernah pada tahun 1990an, kelelawar-kelelawar tersebut pergi dan tidak kembali lagi, karena salah satu pohon besar, tempat tinggal kelelawar, ditebang oleh pemda demi pembangunan kantor. Tak lama kemudian, kebakaran besar menghanguskan pasar sentral. Pusat ekonomi dan kehidupan kota Soppeng luluh lantak.
Kelelawar-kelelawar itu kembali ke Soppeng setelah diadakan upacara pemanggilan mereka.
Di kota-kota sekitar Soppeng juga beredar mitos, bahwa jika kita terkena kotoran kelewar itu, kita akan berjodoh dengan warga Soppeng. So kalo ada yang pingin cari jodoh orang Soppeng, berdiri saja dibawah pohon itu, sambil berharap dapat “rejeki” nomplok… yyyeaachh!!!
Sungguh beruntung sore ini aku sempat mampir di Soppeng, sehingga bisa share pemandangan luar biasa. Bersamaan dengan kumandang adzan Maghrib, lepas landas-lah ribuan kelelawar, meninggalkan sarangnya. Suara teriakan kelelawar yang berkeciap, menjadi senggakan bagi merdu kumandang adzan.
Yach.. kumandang adzan selalu mengiringi kepergian maupun kedatangan kelelawar Soppeng.
Maghrib mereka terbang, dan Subuh mereka pulang.
Kemana mereka pergi dan dari mana mereka datang tidak ada yang tahu secara pasti.
Mungkin mereka mengunjungi saudaranya di Gotham City sana…
Namun sayang, camera yang kubawa cukup jadul, dan cuaca agak mendung. Jadi mohon maaf, gambar tidak bisa terlihat dengan jelas.

Satu hal lagi yang mengundang tanya dalam benakku. Di pinggiran kota Soppeng banyak anjing berkeliaran di malam hari. Tampaknya liar tak bertuan.

Di kota yang terkenal Islami ini, mengapa banyak berkeliaran makhluk yang diharamkan yach??
Soppeng,
May 09

Time Out

Waktu SMA, aku kadang iri dengan teman-temanku yang bisa bercanda, dan bermanja-manja dengan ibunya. Ih.. kenapa aku tidak bisa.
Ini pasti karena Ibu sibuk dengan pekerjaannya.

Tapi sekarang iri itu menjadi syukur tak terhingga, ketika aku melihat sekelilingku. Betapa banyak bayi yang masih sangat kecil telah ditinggal kerja oleh kedua orang tuanya. Baru 3 bulan sudah ditinggal.
Syukur banget aku masih ditunggui oleh ibu, meskipun hanya sampai kelas 2 SD.

Terkenang indah ketika aku disuapi ibu sambil dibacakan buku.
Atau ketika terayun ayun di boncengan sepeda “jengky” biru yang udah butut ketika diantar jemput Ibu waktu TK dan kelas 1 SD. Oh indahnya…
Indah bagiku.. tapi mungkin ngos-ngosan buat Ibu. Lha wong lumayan jauh je … 4-5 km di terik matahari.

Terima kasih Ibu, karena telah rela keluar dari pekerjaanmu waktu itu.

Ibu ketika gadis adalah seorang perawat di salah satu RS di Jogja.
KetikaIbu memutuskan untuk menikah dengan Bapak, dengan rela Ibu keluar dari pekerjaannya.
Ibu mengandung kakakku, satu setengah tahun setelah pernikannya.
Setelah kakakku lahir, kemudian menyusulah diriku ini dikandung Ibu tiga tahun kemudian.

Ketika aku kelas 1 SD, Ibu mulai sering bermimpi bertemu dengan teman-teman sekerja dulu. Teman sekerja, sekaligus teman seangkatan, sekaligus teman seasrama. Karena memang Ibu lulusan sekolah perawat yang mengharuskan Beliau untuk tinggal di asrama.
Yach.. yang diceritakan padaku, mimpi itu hadir setelah aku kelas 1 SD.
Tapi bisa jadi sejak Ibu keluar dari pekerjaannya mimpi itu telah hadir.
Dalam mimpinya, Ibu bertemu teman-temannya dan mereka mengajak Ibu untuk gabung kerja lagi.

Maka setelah aku dianggap cukup besar dan bisa ditinggal, kelas 2 SD, Ibu kembali menjadi perawat. Di rumah sakit yang sama.
Teman-temannya telah banyak yang menjadi kepala unit, atau perawat senior. Ibu kembali menjadi perawat dari nol. Dengan tekhnologi kedokteran yang sudah cukup jauh di depan jika dibandingkan ketika Ibu keluar.

Meski menjadi perawat, Ibu tidak meninggalkan kewajibannya sebagai ibu. Semua kebutuhan telah disiapkan oleh Ibu sendiri. Tanpa asisten sama sekali.
Pagi-pagi sekali Ibu menghangatkan makanan yang sudah dimasak pada malam sebelumnya.
Pakaian juga telah disetrika dengan rapi. Rumah telah dibersihkan.
Luar biasa Ibu….

Saat ini Ibu telah pensiun sebagai perawat RS itu, namun masih terus menjadi asisten di praktek dokter setiap Senin, Selasa dan Sabtu.
Dokter tersebut cukup kondang di Jogja dan banyak pasiennya, sehingga kadang di usia senjanya Ibu harus pulang jam 23.00 bahkan lebih. Sampai saat ini peran ibu di tempat dokter itu belum tergantikan. Karena Ibu adalah satu-satunya perawat di situ yang bisa nyontik bayi dengan baik.
Semua dijalani dengan senyum. Senyum yang sama dengan apa yang aku lihat waktu kanak-kanak dulu. Oh, betapa teduhnya senyum itu…
Dan masih…. Ibu tidak mau ditemani asisten untuk mengurus rumah.

Terima kasih Ibu untuk semuannya.
Untuk semua pengorbanan ketika engkau mengambil “time out” dari pekerjaanmu. Time out yang cukup panjang, 12 tahun. Demi bisa menjagai aku dan Mas Edo.

ups… berkaca-kaca neh waktu nulis

Matur nuwun ibu..
Sembah sungkem kula..
Nyuwun pangapunten asring damel ibu repot, sebel lan duka
Nyuwun sewu, dereng saged paring menapa menapa

Palopo,
May 09

Biar Saja Dia Tidak Berpuasa….

Ini tulisan yang aku buat satu setengah tahun lalu, dibuang sayang:

Waktu saya membuka-buka catatan harian, saya menemukan tulisan ini. Tulisan ini saya buat kurang-lebih 3 tahun yang lalu, di Jogja

Jl. Magelang, jam 13.32, 3 hari jelang Lebaran

Hari ini kudengar percakapan seorang anak dengan kakeknya.

Kek, lihat orang itu. Masa puasa-puasa gini makan dipinggir jalan.

Biar saja dia tidak berpuasa … Coba perhatikan orang itu! Kurus sekali, pakaiannya sangat kotor. Coba kamu perhatikan cara dia makan nasi kotak itu. Sangat lahap, bahkan kadang agak kesulitan menelan karena tergesa-gesa. Sepertinya lapar benar dia.

Tapi ini kan bulan puasa?

Biar saja… kita hanya puasa hanya 1 bulan Nak, tapi lihat pemulung itu… bisa jadi dia sepanjang tahun harus menahan lapar dan haus. Memang bukan karena puasa, tapi karena kondisi. Bisa jadi dia hanya makan sehari sekali, sedangkan kita meskipun puasa, tapi masih sempat sahur dan nanti buka puasa. Apa lagi kamu, kalo malam masih ngemil lagi.

(bus yang aku tunggu kubiarkan melintas, karena aku ingin belajar dari kakek itu)

Memang kek, tapi bukannya dia harus cari tempat yang tidak kelihatan orang, supaya tidak menggoda yang sedang puasa?

Biar saja … Kamu baru lihat segitu aja sudah kepingin. Coba bayangkan kalo bukan bulan puasa. Dia hanya bisa melihat orang lain makan. Dia mesti menahan ”godaan” itu sepanjang tahun Nak…

Tapi kata Pak Ustadz Kek…

Nak, kamu puasa kan? Buang pikiran yang enggak-enggak. Jalani saja puasamu dengan sebaik-baiknya. Biar saja orang lain tidak puasa. Puasamu biar untuk yang di Atas. Jangan mudah menilai orang… Sabar…

Kek, ngomong-omong dari mana orang itu mendapat nasi kotak? Jangan-jangan dari tempat sampah Kek, kan kotor?

Wah kalo itu Kakek tidak tahu.

Barangkali dari sedekah ya Kek, kan kalo dah deket lebaran gini banyak orang yang bagi-bagi nasi kepada para pengemis dan gelandangan.

(Percakapan terhenti, mereka masuk ke dalam bus yang mereka tunggu)

Hari ini aku mendapat pelajaran. Thanks God sudah Kau ingatkan aku.
Makasih Kakek….

(end of diary)

Balikpapan,
Ramadhan 07

Balonku (Ada Lima)

Tentu sebagian besar dari kita telah tahu lagu “Balonku”, atau kalo belum tahu coba deh googling “Balonku Ada Lima”.
Akan banyak sekali dijumpai tulisan yang membahas masalah lirik lagu tersebut, terutama mengenai urutan warna sang balon.
Kelompok pertama kenal urutan warnanya sebagai : Hijau – Kuning – Kelabu – Merah Muda – Biru
Namun banyak juga yang kenalnya: Merah – Kuning – Kelabu – Merah Muda – Biru pada kelompok yang lain.

Kelompok pertama bisa menerima dengan lapang dada, sedangkan kelompok kedua (setelah besar) mempertanyakan “logika” lagu tersebut, karena syair berikutnya adalah “… meletus balon hijau…”

Ketika aku coba cari wikipedia, terdapat lagu Balonku dalam list Lagu Anak Indonesia, ciptaan Pak Kasur. Namun jika kita telusuri lebih lanjut tidak ada keterangan lebih detail mengenai Balonku maupun Pak Kasur.
Bahkan jika dilihat dari log yang ada, telah terjadi saling hapus syair lagu tersebut, akibat perbedaan warna tersebut.

Belum ada yang menjelaskan, atau lebih tepatnya, belum ada yang meneliti mengapa perbedaan ini terjadi, dan mengakar kuat dalam masyarakat kita.
Ada yang berteori, bahwa ada suatu masa sekitar tahun 60-an dimana merah dan hijau saling bermusuhan dan berusaha meniadakan satu sama lain. Ini yang mempengaruhi perbedaan itu (entah yang Merah meniadakan yang Hijau, atau sebaliknya yang Hijau meniadakan yang Merah). (kalau sekarang meletus balon apa ya? Hijau, Merah, Biru, atau Putih? He..he..he..)

Ada juga yang menganggap, ini terpengaruh lagu Pelangi, ”…merah kuning hijau… di langit yang biru….”
Diperparah dengan urutan trafict light yang Merah Kuning Hijau… sehingga seolah olah jika menyebutkan urutan warna, ”harus” diawali dengan merah.

Atau ada juga yang bernalar seperti ini:
”Yang meletus milik orang lain, nah karena sifat luhur bangsa kita, si pemilik balon memberikan satu balon miliknya ke orang lain tersebut” (nice try… he..he..)

Terlepas dari mana yang benar, satu pelajaran yang bisa kita ambil:
Apa yang terekam waktu kecil, akan terus dipegang/dipercaya hingga dewasa, walau kadang tidak logis.
So… harap berhati hati yach, rekaman anak-anak terhadap sekeliling sangat tajam dan kuat.

Note:
Berdasarkan observasi sementara (yang masih harus dibuktikan lagi kebenarannya), kelompok kedua banyak berasal dari orang-orang yang masa kecilnya di Jawa Tengah – Jawa Timur (termasuk Jogja)

Surabaya, May 09

Senja Dibalik Jendela

Kantorku terletak tidak jauh dari pantai, hanya terpisah satu blok saja. Dan ruang kerjaku, terletak di lantai 3. Cukup tinggi untuk dapat memiliki pandangan yang lumayan luas dan lepas.

Dari balik ruang kerja aku dapat melihat luas laut yang terbentang. Di kejauhan tampak tanjung dengan perkampungan di ujungnya. Ujung Lero. Sebuah menara masjid berdiri menjulang di kejauhan.

Kapal-kapal nelayan bertaburan di kejauhan. Kadang kapal-kapal besar juga melintas. Memang yang terpampang di balik jendela ruang kerjaku adalah pintu gerbang menuju pelabuhan kota ini.

Pemandangan yang bisa aku jadikan tempat pelarian dari seabreg pekerjaan. Pelepas lelah mata setelah berkutat dengan layar laptop. Hiburan murah meriah… he..he..he.

Sore itu aku berdiri memandang lautan. Matahari mulai bergerak ke ufuk barat. Terus bergerak. Tenggelam.

Dari masjid di sebelah kantor berkumandang adzan Maghrib. Terdengar merdu, menghanyutkan diriku…. terdiam ….. merenung… dalam… dalam… semakin dalam…
Sungguh indah…

Allahu Akbar!! Allah Mahabesar!!

Surabaya, May 09