Tiong Ting & Delingan

Tiong Ting:

Aku masih kecil ketika pertama kali masuk ke komplek rumah duka ini. Tahun 80’an. Lebih dari 25 tahun yang lalu. Aku merasa bahwa bangunan ini sangat megah dan luas sekali. Cat putih memberikan kesan terang dan bersih.

Sebagai anak kecil tentu saja aku sempat berlarian kesana kemari dan dengan takut takut melongok ke sebuah rumah, tidak terlalu besar, berwarna merah. Ada banyak dupa di ruang itu, juga seekor sepasang “singa” yang menjaga di depan pintunya. “Kirin namanya” kata Bapak memberi keterangan singkat.

Juga tanpa malu malu aku melihat orang yang sedang melukis peti jenasah yang sangat besar. Entah peti untuk siapa, yang jelas baru kali ini aku melihat peti yang sangat besar dan bentuk seperti cengkeh seperti itu. “Akan ada 8 dewa yang digambarkan di situ” kata Bapak menerangkan.

Atau dengan nakalnya aku mengetuk-ngetuk pintu besi besar dan tebal, berwarna merah tua dan kusam. Deng..deng..deng…!!!

Sebuah pintu yang ternyata merupakan pintu ruangan kremasi.

Malam harinya, aku diberi pakaian putih. Kami sekeluarga duduk di kanan kiri peti jenasah. “Pokoknya ikuti saja gerakan Bapak” brief ibu singkat sesaat sebelum “acara” itu dimulai.

Continue reading

Lutut Ayam

Disclaimer:

Tulisan ini hanya merupakan jawaban iseng atas pertanyaan “dimanakah lutut ayam?” “Benarkah lutut ayam menghadap ke belakang?” Dan tulisan saya ini tidak akan mengurangi rasa hormat saya kepada mereka yang telah mendapatkan hikmat dari “perbedaan” lutut manusia dan lutut ayam. (sebagaimana diceritakan di sini, maupun di beberapa tulisan lain yang senada)

Beberapa waktu yang lalu, saya dan rekan rekan berkesempatan untuk makan bersama di sebuah warung di pinggir jalan. Menu utama di warung itu adalah ayam bakar atau goreng.

“Mas, ayamnya paha ya Mas” pintaku

“Baik Pak” jawab pemilik warung.

“Yang kanan ya Mas”

“Apa Pak?”

“Pahanya yang paha kanan,” jawabku sambil tersenyum

“….” Mas mas penjaga warung itu, bengong, dan memasang tampang sedang berpikir.

“Udah-udah Mas, bercanda kok. Gak usah dipikir. Pokoknya paha saja.”

Saya dan rekan-rekan pun menunggu makanan yang kami pesan

“Mengapa pilih paha yang kanan?” Tanya temanku

Continue reading

Garuklah Punggungmu Sendiri

“Garuklah punggungmu sendiri”.

Kalimat di atas tidak bermakna kias, bukan slogan, bukan peribahasa ataupun kiasan, bukan pula tag line suatu product, apalagi judul buku, film, sinetron, drama  atau judul lagu. Sungguh kalimat itu tidak bermakna lain selain bahwa saya menyarankan Anda untuk menggaruk punggung Anda sendiri jika merasa gatal.

Saran untuk menggaruk punggung berasal dari pengalaman saya pribadi, berdasarkan apa yang pernah saya rasakan.    Jika Anda mempunyai pendapat tersendiri berdasarkan pengalaman diri Anda sendiri, ya silakan saja. Namanya juga hanya saran. Bisa diikuti, atau bisa juga dicuekin.

Continue reading