Tiong Ting:
Aku masih kecil ketika pertama kali masuk ke komplek rumah duka ini. Tahun 80’an. Lebih dari 25 tahun yang lalu. Aku merasa bahwa bangunan ini sangat megah dan luas sekali. Cat putih memberikan kesan terang dan bersih.
Sebagai anak kecil tentu saja aku sempat berlarian kesana kemari dan dengan takut takut melongok ke sebuah rumah, tidak terlalu besar, berwarna merah. Ada banyak dupa di ruang itu, juga seekor sepasang “singa” yang menjaga di depan pintunya. “Kirin namanya” kata Bapak memberi keterangan singkat.
Juga tanpa malu malu aku melihat orang yang sedang melukis peti jenasah yang sangat besar. Entah peti untuk siapa, yang jelas baru kali ini aku melihat peti yang sangat besar dan bentuk seperti cengkeh seperti itu. “Akan ada 8 dewa yang digambarkan di situ” kata Bapak menerangkan.
Atau dengan nakalnya aku mengetuk-ngetuk pintu besi besar dan tebal, berwarna merah tua dan kusam. Deng..deng..deng…!!!
Sebuah pintu yang ternyata merupakan pintu ruangan kremasi.
Malam harinya, aku diberi pakaian putih. Kami sekeluarga duduk di kanan kiri peti jenasah. “Pokoknya ikuti saja gerakan Bapak” brief ibu singkat sesaat sebelum “acara” itu dimulai.