Prosa Lirik

Dahulu waktu duduk di kelas 3 SMP, Bu Guru Bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa ada tiga jenis karangan. Prosa, Puisi, dan Prosa Lirik. Prosa, jelas. Anda semua tentu pernah membacanya. Tulisan ini pun termasuk prosa. Puisi, jelas juga. Anda semua tentu pernah “minimal” membacanya. Bahkan mungkin ada juga yang sering membuatnya. Tapi, prosa lirik? Apa tuh? Mungkin belum semua pernah melihat prosa lirik.

 Penjelasan dari Bu Guru waktu itupun kurang memuaskan bagiku.

Simple-nya, berbentuk prosa, tapi ada rima di dalamnya.” That’s it. Hanya itu penjelasan waktu itu. Contoh juga tidak ada.

 

Tahun berlalu, dan si prosa lirik pun terlupakan olehku. Lebih dari lima tahun telah berselang.

 

Suatu ketika, aku main ke tempat kos temanku. Dan seperti biasa, mataku selalu jelalatan dan menjelajah setiap kali melihat buku tersusun rapi dalam rak.

”Lihat koleksi bukumu ya mBak?”

 (temenku beberapa tahun lebih tua dari aku, jadi jangan heran kalau aku panggil mBak ya? He…he.. )

 Mataku menelusuri buku-buku yang berbaris rapi di rak bukunya. Buku-buku kuliah langsung aku skip saja, lha wong beda jurusan. Dia accounting sedangkan aku statistik.

 

Mataku terpaku pada judul sebuah buku. Pengakuan Pariyem judulnya, karangan Linus Suryadi AG.

 

„Bagus gak?” tanyaku, sambil menunjukkan buku itu padanya.

 

„Bagus sih… ning rada saru”

 

Hemmm.. ini yang menarik. Rada saru alias agak porno. He..he…

 

Akhirnya buku itu, menemaniku pulang, a.k.a aku pinjem. Maklum mahasiswa, pinjam meminjam buku merupakan hal yang sangat lumrah.

 

Malam itu aku mulai ”mendengar” pengakuan Pariyem. Pengakuan yang menghanyutkan saya.

 

Ya, ya, Pariyem saya

Maria Magdalena Pariyem lengkapnya

“Iyem” panggilan sehari-harinya

dari Wonosari Gunung Kidul

Apabila suatu hari kita bertemu

Jangan panggil saya Maria

jangan panggil saya Magda

Tapi panggil saya Pariyem

Jangan panggil saya Riri

jangan panggil saya Yeyem

Tapi panggillah saya Iyem

lha, orang tua saya memanggil Iyem, kok

cocok benar dengan pangkat saya: babu

Panggilan itu sudah lumrah

tak membikin saya kikuk

dan merasa wagu

 

“Suara Pariyem” lancar berlagu. Saya terhanyut oleh irama yang tercipta dari tulisan itu. Mempesona. Apalagi dengan latar belakang budaya Jawa yang cukup aku kenal.

 

Hemmm inikah prosa lirik yang pernah disinggung secara sepintas oleh Bu Guru dulu, beberapa tahun lalu, sewaktu aku masih SMP. Namun waktu pertama kali membacanya aku belum yakin. Prosa lirik?? Prosa biasa?? Puisi??

 

Akhirnya aku yakin seyakin yakinnya bahwa itu adalah prosa lirik setelah aku amati dengan cermat buku itu. Kenapa begitu yakin?? Gimana tidak yakin, lha wong di bagian depan buku itu tertulis

Prosa Lirik untuk:

Umar Kayam

 

Yeah…!! Akhirnya aku pernah membaca prosa lirik. Dan sampai saat ini, baru Pengakuan Pariyem-lah satu-satunya prosa lirik yang pernah aku baca (secara sadar bahwa memang aku tengah membaca prosa lirik).

 

Menurutku Pengakuan Pariyem cukup menarik untuk dibaca sebagai alternatif gaya penulisan karya sastra Indonesia. Apalagi bagi mereka yang dibesarkan atau setidaknya mengenal budaya Jawa dan kosa kata Jawa. Kalaupun Anda tidak mengerti bahasa Jawa, pada bagian belakang buku ini ada daftar kosa kata Bahasa Jawa – Indonesia. Kosa kata ini cukup membantu, walaupun letaknya memang kurang enak, bukan berupa footnote, sehingga harus bolak balik kebelakang jika pingin tahu arti suatu kata. Selain kosa kata, ada juga terjemahan beberapa tembang yang ada dalam buku ini.

 

Apakah saru seperti kata temanku? Hemmm subjective sekali, tapi menurut saya sih tidak. Memang penggambarannya ada yang gamblang tidak ditutup-tutupi, namun jauh dari kesan vulgar apalagi porno.

 

Beberapa waktu yang lalu, aku sempat ke G**media, dan menjumpai buku itu lagi. Langsung deh beli untuk koleksi. Sekarang penebitnya adalah KPG (2009), sebelumnya diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (1981) dan kemudian oleh Pustaka Pelajar (1999).

 

Tiga cover Pengakuan Pariyem

Tiga cover Pengakuan Pariyem

 Gambar cover diambil dari sini, sini dan sini

Ada hal kecil yang menurutku sedikit kurang “sreg” dalam cetakan terbaru ini. Visual Pariyem menurutku terlalu cantik, halus, terawat, dan mriyayeni. Kurang sreg dengan pangkatnya yang  babu.

Menurutku visual terbitan sebelumnya lebih mengena. Dalam terbitan itu, Pariyem divisualkan dengan sosok wanita yang lebih “ndesani dan njawani” dengan mengenakan kain lurik sederhana, dan dengan tatapan yang mengundang kita masuk ke relung jiwanya, sangat selaras dengan isi tulisan yang mengungkapkan spiritualitas wanita Jawa secara simbolis, sebagaimana tertulis dalam sub judul buku ini: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa.

 

Jujur, saya terpesona oleh prosa lirik. Bagaimana dengan Anda?

Apakah ada prosa lirik lain yang Anda rekomendasikan untuk saya nikmati?

 

Pare Pare,

Aug 08

26 thoughts on “Prosa Lirik

  1. sebentar… aku mau ngutip ini dulu:
    “Akhirnya buku itu, menemaniku pulang, a.k.a aku pinjem. Maklum mahasiswa, pinjam meminjam buku merupakan hal yang sangat lumrah”.
    ada satu lagi yang lumrah pada mahasiswa, yakni lupa mengembalikan buku yang dipinjam… hehehe… 😀

    aku belum tahu, apakah pernah menemukan prosa lirik atau tidak, soalnya baru tahu dari informasimu ini lho Bro…
    thanks ya informasinya…

    btw, para babu sekarang emang sudah pada kinclong kok, dan wanita jawa sudah banyak yang kayak bule, jadi wajar saja kalau kover terbaru kayak gitu, hehehe… 😀

    • ya..ya.. babu sdh kinclong, baru ngeh sekarang makanya covernya spt itu

      aku gak lupa ngembalikan bukunya to.. tp waktu si mbak itu main ke rumahku dan bilang “iki tak gawa ya…”

  2. sepakat dengan uda,
    babu saiki rodo kinclong-kinclong…halah!!!!

    “Apakah ada prosa lirik lain yang Anda rekomendasikan untuk saya nikmati?”
    Ada !!!!…Prosa yang nyanyi Ayat-Ayat Cinta

    *tiarap, sembunyi bareng Densus 88*

  3. aku idem sama Uda Vizon…belum tahu apakah pernah menemukan prosa lirik atau belum..
    aku juga baru tahu dari posting ini..(ironis deh, secara aku kan belajar bahasa, tapi malah nggak ngerti ada prosa lirik)
    isin aku…

    nana

    • nah itu jg blm terjawab mbak Em, apa definisinya… he. he..

      kalo yg dilakukan mbak EM tuh bukan prosa lirik mbak, tapi prosa nglirik he..he..

  4. Saru kah ???

    Aaahhhh beli aaahhh …

    Bukan karena prosa liris nya …
    (tapi karena sarunya …)

    Halah Trainer gak bener inih …

    Hahaha

  5. Hahahah … komennya lutju-lutju …
    Menurut Pak Guru saya, prosa lirik memang seperti yang disampaikan Bro Neo. Prosa yang ditulis dalam bentuk puisi. Nah, buku “Pengakuan Pariyam” sendiri saya sudah dengar lamaaa (lho buku kok didengar? bukannya dibaca? 😀 ). Tapi saya sendiri ya belum pernah baca. Ya itu, karena pernah mendengar, isinya ‘saru’ … isin aku nek bongso saru-saru … 😀

    • OK Uni… kayaknya memang sedikit yg pernah baca prosa lirik, krn memang karangan jenis ini termasuk jarang juga yach.. 🙂

  6. aku pertama kali baca Pengakuan Pariyem waktu masih SD hihihi. lha wong asal comot dari rak buku bapakku. dulu gambar bukunya tokoh wayang, mas. waktu pertama kali mengambil buku itu, kubaca2 sekilas kok nggak mudeng ya? pas setelah SMA gitu baca2 lagi, dan baru bisa menikmatinya hehe.

    • SD sdh baca?? wah kalo itu mah kemudaan kali yach… yg udah aqil balik boleh lah baca pengakuan pariyem he..he..he…
      yup, yg aku baca covernya gambar wayang, menurutku itu yg paling pas dg isi pengakuan pariyem, penuh simbol he..he..he…

    • bener.. menarik sekali buku ini 🙂 (*promosi mode on*)
      sampai sekarang, blm pernah lihat prosa lirik yg lain 😦

  7. Ada penyair arab yang menulis tulisannya dengan menggunakan prosa lirik.kalau dalam kajian sastra arab,disebut natsrun fanniyyun atau syi’run mantsur.Kahlil gibran yang memliki gaya tulisan seperti ini dalam tulisan2nya yang berbahasa arab.

    • wah maaf, saya sendiri tidak tahu definisi prosa lirik secara jelas, penjelasan dari guru saya dulu (spt tertulis di postingan ini) juga kurang memuaskan.

Leave a reply to albertobroneo Cancel reply