Pulang Kemana Mak?

BADAI GUNTURGuntur masih terus bersahutan di kejauhan Angin keras menerpa, membuat rumah bambu tua di tepi pantai berderit derit. Daun pintunya menghentak-hentak gerendel kayu penahannya. Pintu yang tidak pernah tertutup rapat itu berguncang-guncang seiring dengan hantaman angin. Kilatan cahaya sesekali menempus celah celah anyaman bambu dinding rumah. Telah lebih dari tiga jam bayang-bayang seorang ibu muda yang tengah memeluk anaknya bergoyang goyang seiring goyang nyala lampu minyak diatas meja kayu. Ember-ember pemampung tiris mujan mulai penuh, dan airnya mulai membasahi lantai tanah.

Maryam bersenandung lirih sambil menimang Bagas agar tertidur. Dipeluknya Bagas di balai-balai bambu. Diselimutinya tubuh mungil itu dengan selembar sarung lusuh untuk sekedar menghangatkan tubuhnya, dan menghindari cipratan air yang mengucur. Seraut kegalauan terbersit di wajah Maryam.

Malam berbadai telah berlalu. Matahari cerah bersinar. Namun kecerahan itu tetap saja tampak muram bagi beberapa wanita yang berdiri di tepi pantai. Mereka memandang ke laut lepas. Dikejauhan tampak perahu bergerak pelan. Terseok-seok dibawa gelombang.

“Hanya dua perahu Mak” bisik Maryam pada wanita tua disampingnya.

“Smoga itu perahunya Mastrip”

“Amiienn” bisik Maryam lirih.

Dua perahu itu makin mendekat, dan degup di hati Maryam semakin kencang. Hatinya berdebar keras ketika kedua perahu itu semakin tampak jelas.

“Bukan perahu kang Mastrip Mak” bisik Maryam dengan suara tercekat.

Istri-istri nelayan itu menyambut kedatangan suami mereka. Tidak ada pelukan. Tidak ada luapan kegembiraan. Seakan merupakan hal yang biasa saja. Atau kegembiraan yang tertahan mengingat ada perahu yang belum pulang. Hanya beberapa sapaan singkat, dan uluran tangan memberesi bekal suami mereka. Ya, hanya bekal para nelayan saja. Para nelayan itu pulang tanpa ikan tangkapan. “Syukur masih bisa pulang” ungkap mereka.

“Maryam, perahu Mastrip terpisah dari rombongan”

Berita singkat dari mereka yang kemarin pulang masih terngiang di telinga Maryam. Dia masih menunggu dengan cemas. Matanya masih menatap kosong ke lautan.

“Tidak ke pasar Nduk?” tanya Emak membangunkan tatapan kosong Maryam

“Emak berangkat sendiri dulu ya… Aku menunggu Mastrip”

Emak Maryam hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kegelisahan juga membayang di wajahnya. Kegelisahan yang menyeret ke masa delapan tahun lalu, masa ketika suaminya pulang ke rumah setelah empat hari terombang ambing di laut. Terseret badai jauh ketengah laut. Ya, Bapak Maryam yang dua hari kemudian berpulang. “Semoga tidak terjadi pada Mastrip” doa singkat terucap lirih di mulut Emak.

“Bapak belum pulang Mak?”

“Belum Nak, sana main dulu sama teman-teman”

Tiga hari sudah berlalu. Maryam masih menunggu. Matahari telah condong ke barat. Para nelayan sudah mulai bersiap melaut lagi. Ada kehidupan yang mesti diambil dan diperjuangkan dari tengah lautan sana.

“Bapak dulu pulang setelah empat hari” Bisiknya dalam hati. Sisa sisa harapan yang makin meredup coba dihidupkan lagi. “Mastrip pasti pulang”

Hari berganti. Pagi-pagi benar Maryam melangkah pelan ke pantai. Bagas berlari-lari kecil di sampingnya. Segenggam kembang ditaburkannya di pantai. Kembang-kembang itu mengambang, bermain sebentar bersama ombak yang memercik di kaki Maryam dan Bagas, kemudian terseret ombak ke tengah laut.

“Kenapa air mata Emak berlinang” tanya Bagas

 “Nak, Bapak mungkin pulang” balas Maryam dengan suara tergetar.

“Pulang kemana Mak? Pulang ke rumah kita atau ke rumah Eyang?”

Seberkas kilat menyambar di kejauhan. Di dasar hati Maryam.

 

 

Parepare, Oct 09

A story inspired by Lenggalenggong Badai Lautku, a ballad song by Leo Kristi .

Gambar dipinjam dari sini.

35 thoughts on “Pulang Kemana Mak?

    • kekekekekkekk

      kalo itu mah inspired by conversation with RTB a.k.a FRW a.k.a ADC 😀

      nyok nyok mletik juga cah kae..

  1. Ceritanya sedih juga bro tapi bagus banget, bisa dijadiin cerpen bro..Usulan aja bro, kenapa ga dikasih tempat buat vote juga di tulisannya, kayak Om NH18..jadi ntar Broneo bisa tahu neh mana-mana tulisan Broneo yang paling favorite dimata penikmat..hehhe..sukses trs Bro..

    • lho… ini bukannya cerpen yach??
      makasih usulnya… akan dipertimbangkan…
      *sbenarnya takut semua gak ada yg favorit he..he..*

  2. Bapak pasti pulang, jadi tidak usah khawatir. Meski di hari digelayuti rasa khawatir.
    duh membaca cerita ini membawa saya terhanyut dengan suasananya. Terima kasih bro

    Salam kenal, kunjungan pertama.

  3. Asem!
    Ceritanya singkat tapi.. ini bener-bener menohok!
    Two thumbs up! Sepakat dengan Krismariana, kisah ini benar-benar bagus!

  4. Waaah ….. waktu baca kisah ini, saya langsung ingat lagunya Leo Kristi, sudah berecana mau komen gitu. Eh, ternyata memang terinspirasi oleh Leo. Bro penggemar Leo Kristi to? Wah, kalo gitu kita se’marga’ Bro … 😀

    Leo Kristi itu lagu-lagunya huebat-bat. Sampai sekarang belum ada yang menandingi. Saya punya kumpulan lagu-lagunya dalam satu CD, ada 44 lagu. Belum semua lagu Leo memang, tapi cukuplah untuk mengobati kerinduan …

    Mau CD Leo Bro? Atau sudah punya?

    • mauuuu.. CD-nya leo kristi
      dulu cuma punya kaset, itupun dah gak karuan bunyinya.. skr ntah kemana..

      boleh dong besok ngopi bu Tuti… (*plirak-plirik takut ditangkep KPK krn melanggar hak cipta*)

      • Kalau Bro Neo mau, nanti saya kopikan saja. Itu dapetnya juga donlod dari internet kok, jadi kayaknya memang sudah jadi milik publik (mungkin … moga-moga saja *ikut plirak-plirik juga, ada polisi nggak?*).

        Kirim alamat ke email saya ya Bro, nanti saya kirim CDnya …

      • wah malu neh.. jadi ngrepoti bu tuti (*sambil tertunduk malu, pipi merona merah*) (*halah.. bahasamu bro… merona!!*)

  5. “Ada kehidupan yang mesti diambil dan diperjuangkan dari tengah lautan sana”

    aku suka kalimat ini. sukaaa sekali…

  6. Sorry Bro, aku rada sentimentil kalau tentang yang satu ini…
    Aku cuma mau mengambil sisi lainnya, bahwa cerita ini menunjukkan betapa beratnya perjuangan seorang ayah demi menghidupi istri dan anaknya. nyawa pun menjadi taruhannya… maka, apakah masih beda peran ayah dan ibu dalam kehidupan seorang anak? menurutku, tidak!

  7. Kerasnya perjuangan menafkahi anak-isteri, setiap keringat si Bapak tentu dibayarNya dengan pahala berlipat dan rahmat…
    Sementara yang bekerja di belakang meja, kadang suap sana suap sini, korupsi sana korupsi sini…????

    • smoga yang terbaik…

      bagas? wah cuma kebetulan saja, tdk ada maksud apa apa, hanya nama itu saja yang terlintas ketika nulis cerita ini 🙂

      Ria kenal sama bagas?? 😀

  8. Waaah.. Kyanya sejak bbrp hr yg lalu aku jd pengunjung tetap ‘the broneo’ niih..
    Bagus2 beneeerrr ceritanya…
    Mdh2an setiap hari ada cerita baru yaa…
    Two thumbs up deh buat Bro !!!
    Kereeen!!!!

    • wah jadi tersanjung neh… duh senengnya punya pengunjung tetap
      wah tapi kalo tiap hari tulisan baru, kayaknya gak sanggup deh.. you know why lah….

      oh ya, ayo jangan sekedar baca, bikin personal blog jg dong.. 🙂 aseek lho….

  9. Pengeeeen bgt punya blog sendiri.. Apalagi setelah masuk ke ‘sejutakatanana’.. Waaah makin pengen bikin…
    Tapi kok blm ada keberanian yah?? Hiks!
    Banyak2 belajar dl deh sama bro dan blogger lainnya.. Ntar klo dah cukup ‘berani’ br bikin blog juga, hehee..
    Btw ‘kodok ngemplok’nya dmn yah?

    • Ayo Fanny.. aseek lho.. aku dulu juga ragu.. ada yg mau baca gak ya? eh ternyata ada juga yg baca he..he..

      dulu sih cuma sebagai ajang asal tulis aja, kayak diary elektronik gitu

      kodok ngemplok?? tuh ada di sisi kanan.. di atas badge FB 🙂

Leave a reply to albertobroneo Cancel reply